10 di tambunan - Google Blog Search |
rakyatmerdekaonline.com - Bos Gayus <b>Tambunan</b> Sudah Pasrah <b>...</b> Posted: 01 Oct 2011 03:00 PM PDT Bos Gayus Tambunan Sudah Pasrah Duluan Divonis Hakim Tipikor Hari Rabu Minggu, 02 Oktober 2011 , 05:00:00 WIB
RMOL.Rabu, 5 Oktober 2011 bakal menjadi hari yang mendebarkan bagi bekas Direktur Keberatan dan Banding Ditjen Pajak, Bambang Heru Ismiarso. Pada hari itu, bekas atasan Gayus Tambunan ini akan menerima vonis dari majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Bagaimana sikap Bambang menghadapi vonis itu? Ketua Majelis Hakim Djupriadi telah mengetuk palu sebanyak tiga kali pada persidangan pembacaan duplik Bambang di Pengadilan Tipikor (28/9). Artinya, rangkaian proses persidangan sudah memasuki tahap akhir. "Untuk selanjutnya, kami, majelis hakim akan menjatuhkan vonis pada hari Rabu 5 Oktober 2011 jam 9 pagi," katanya. Seusai sidang pembacaan duplik di Pengadilan Tipikor, Bambang mengaku pasrah dan tidak bisa berbuat banyak. Menurutnya, semua hal terkait pemberian vonis akan diserahkan sepenuhnya kepada majelis hakim. "Saya hanya berserah diri kepada Allah. Doakan saja semoga semua berjalan lancar," katanya ketika dijumpai Rakyat Merdeka. Meski terkesan pasrah menghadapi vonis, Bambang sangat menyesalkan sikap Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menurutnya, tidak mempertimbangkan keterangan saksi Gayus Halomoan Tambunan sebagai fakta persidangan. Padahal, menurut dia, keterangan Gayus adalah kesaksian yang jujur. Ketika itu, Gayus mengatakan tidak pernah mendapat arahan khusus dari Kepala Seksi Pengurangan Keberatan dan juga Direktur Keberatan dan Banding dalam menelaah keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (SAT). "Gayus menjelaskan bahwa diminta penyidik untuk merekayasa kasus agar dapat menjerat atasannya. Itu dilakukan karena merasa sakit hati karena surat pengangkatan jabatan tidak ditandatangani saya," ucapnya. Bahkan, lanjut Bambang, Gayus secara terang-terangan di muka Pengadilan Negeri Jakarta Selatan meminta maaf kepadanya, Humala Napitupulu dan Johny Marihot Tobing karena perkara PT SAT ini. Selain itu, Bambang menyatakan, Bank BRI tidak akan memberikan kredit jika aset yang dijadikan agunan masih utang. "Mana mungkin sebuah bank memberikan suatu pinjaman terhadap suatu hal yang masih utang," tuturnya. Namun, menurut JPU, Bambang terbukti melakukan kelalaian dalam menelaah keberatan pajak perusahaan yang berkantor di Sidoarjo, Jawa Timur, tersebut. "Kami tetap memohon hakim memutuskan Bambang Heru Ismiarso bersalah melakukan korupsi bersama-sama dan menjatuhkan pidana penjara empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider penjara enam bulan," kata jaksa Purnomo. Jaksa menilai, Bambang terbukti bersalah mengakibatkan kerugian negara karena tidak mencermati laporan anak buahnya di Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal ini Gayus Halomoan Tambunan dan Humala Napitupulu. "Terdakwa melakukan perbuatan yang membahayakan pendapatan negara, terutama sektor pajak," ujarnya. Seharusnya, menurut jaksa Purnomo, Bambang mencermati laporan Gayus dan Humala yang tidak melakukan pengecekan ke lapangan. Padahal, pengecekan penting dilakukan untuk melihat apakah aset PT SAT tidak mengalami pertambahan nilai selama mereka mengajukan keberatan pajak. "Karena Gayus ternyata hanya mempercayai foto-foto aset yang diserahkan wajib pajak," tandasnya. Jaksa Purnomo juga menilai Bambang melakukan kelalaian karena dalam dokumen persetujuan terhadap keberatan pajak PT SAT, Bambang menyatakan sudah meminta tanggapan ahli. Padahal sebenarnya, hal tersebut tidak pernah ada. "Jadi, ini suatu kebohongan besar dan telah melakukan berbagai macam rekayasa," ujarnya. Sementara itu jaksa Erni Maramba mengatakan, hal yang memberatkan Bambang ialah sebagai pegawai negeri sipil eselon II Ditjen Pajak, seharusnya menjadi contoh terdepan dalam memberi teladan masyarakat, tapi justru memanfaatkan sistem yang ada, sehingga bisa menurunkan kepercayaan masyarakat membayar pajak. Sedangkan hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, sopan selama persidangan, dan menanggung penghidupan keluarganya. Jaksa kemudian menuding Bambang bersama Gayus Tambunan telah berbuat tindakan yang merugikan keuangan negara. Menurut jaksa Erni, kerugian negara yang timbul dalam kasus ini mencapai 570, 9 juta rupiah. Sekadar mengingatkan, dalam perkara ini, tiga orang sudah menangguk hukuman. Mereka ialah Gayus Tambunan, Humala Napitupulu dan Maruli Pandapotan. Gayus, lantaran didakwa sekaligus dengan perkara lain, maka hukumannya paling berat, yakni 12 tahun penjara. Sedangkan Humala diputus hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta dalam tahap banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Juni 2011. Adapun Maruli Pandapotan divonis 2 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 50 juta di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Februari 2011. Tanpa Penelitian Terima Keberatan Pajak Reka ulang Bekas Direktur Keberatan dan Banding Direktorat Jenderal Bambang Heru Ismiarso dituding JPU melawan hukum. Ia dianggap lalai karena tidak berkoordinasi dengan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Sidoarjo, Jawa Timur, perihal permohonan keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (PT SAT). Dalam dakwaan, jaksa Freddy Simandjuntak menyebutkan, PT SAT selaku wajib pajak mengajukan keberatan pajak pada Ditjen Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN Pasal 16 D Nomor 00007/237/04/617/07 Tahun 2004. Atas dasar permohonan keberatan itu, KPP Sidoarjo meneruskan permohonan itu kepada Direktorat Keberatan dan Banding. Tapi setelah surat keberatan sampai pada Bambang, JPU menilai Bambang tidak menanyakan lebih dahulu uraian keberatan dari KPP atau Kanwil Pajak setempat. Alhasil, pada 4 April 2007, Bambang memberikan disposisi kepada Kasubdit Pengurangan dan Keberatan dengan perintah untuk menyelesaikan perkara tersebut. Menurut JPU, meski tak punya argumen dari Kanwil Jawa Timur selaku pemeriksa, Bambang tetap menerbitkan surat tugas No ST-1068/PJ.071/2007 tanggal 9 Mei 2007. Surat itu berisi perintah kepada Marjanto (Kasubdit Pengurangan dan Keberatan), Maruli Pandapotan (Kasi Pengurangan dan Keberatan), Humala Napitupulu (Penelaah Keberatan) dan Gayus Tambunan selaku pelaksana untuk melakukan penelitian terhadap permohonan keberatan dan penghapusan sanksi administrasi PT SAT. Pasca dilakukan pembahasan antara Gayus, Humala dan Hindarto Gunawan, JPU mendakwa bahwa Maruli memerintahkan Gayus menerima keberatan wajib pajak. Sehingga, tanpa melakukan penelitian yang tepat dan menyeluruh terhadap PT SAT, Gayus membuat laporan yang dituangkan dalam laporan penelitian Nomor LAP-656/PJ.071/2007 tanggal 9 Agustus 2007 tentang laporan penelitian keberatan PT SAT. Menurut JPU, setelah laporan itu ditandangani Gayus, Humala, Maruli dan Jhony Marihot Tobing selaku Kasubdit Pengurangan dan Keberatan, laporan itu diserahkan pada Bambang Heru untuk diteliti. Tetapi, setelah Bambang menerima laporan, JPU menuding Bambang telah melawan hukum karena tidak menelitinya. Bambang malah langsung menyetujui konsep laporan yang dibuat Gayus secara asal. Bambang pun menandatangani hasil penelitian tersebut. Artinya, pembayaran pajak yang dilakukan PT SAT sebesar Rp 429, 2 juta dianggap sebagai pembayaran lebih dan harus dikembalikan pada PT SAT. Kasus Seperti Ini Akan Terulang Hifdzil Alim, Peneliti LSM PUKAT Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Hifdzil Alim menilai, perkara mafia pajak seperti yang menjerat Gayus Tambunan Cs akan terulang selama aparat penegak hukum lemah dalam melakukan pengawasan di Direktorat Jenderal Pajak. Karena itu, dia menyerukan kepada KPK agar turun tangan mengawasi Ditjen Pajak. "Saat ini pengawasan masih sangat lemah. Mungkin, karena sekarang muncul beberapa kasus besar, sehingga kasus yang lama menjadi terbengkalai. Ini sebenarnya persoalan klasik yang tak kunjung ada jalan keluar," katanya. Menurutnya, kasus Gayus tak hanya berhenti sampai tingkat Direktur Keberatan dan Banding Ditjen Pajak. Hifdzil menilai, kasus seperti itu bisa menjerat pejabat tinggi lainnya di Ditjen Pajak asalkan ada kemauan besar dari tim penyidik untuk melakukan pengembangan. "Saat itu yang menjadi penyidiknya Polri kan. Nah, saya harap mereka mau mengembangkan perkara itu supaya tak tebang pilih," ucapnya. Hifdzil menengarai, kasus seperti itu tak hanya terjadi pada bagian keberatan dan banding Ditjen Pajak saja. Menurutnya, semua sektor di Ditjen Pajak berpotensi untuk melakukan pelanggaran. "Aparat perlu melakukan sisi pencegahan dengan baik. Kalau tidak, maka kasus ini akan terus naik ke permukaan," tandasnya. Karena itu, dia juga meminta Dirjen Pajak untuk mengawasi dan melakukan pembenahan internal secara mendalam. Sehingga, seluruh pegawai Ditjen Pajak dapat terkontrol dalam menjalankan tugasnya. "Sebagai pucuk pimpinan harusnya bisa mengawasi anak buahnya, bahkan jangan ragu untuk memberikan sanksi tegas kepada setiap jenis pelanggaran," katanya. Ada Dua Hal Belum Terjawab Didi Irawadi Syamsuddin, Anggota Komisi III DPR Anggota Komisi III DPR Didi Irawadi Syamsuddin berpendapat, meski secara perlahan rekan-rekan Gayus Tambunan di Ditjen Pajak dijatuhi hukuman penjara oleh majelis hakim, namun bukan berarti kasus mafia pajak sudah berakhir. Soalnya, kasus itu masih mengandung pertanyaan sangat besar yang belum terjawab hingga kini. "Pertama, siapa itu yang menyuap Gayus. Kemudian siapa pula pejabat tinggi di Ditjen Pajak yang juga terlibat dalam kasus itu. Kalau dua hal ini belum terjawab, kami di Komisi Hukum sangat kecewa dengan penuntasan kasus ini," katanya. Karena itu, Didi tidak percaya kalau kasus Gayus ini hanya berakhir sampai tingkat Direktur Keberatan dan Banding Ditjen Pajak. Menurutnya, penyidik Polri perlu untuk mengembangkan kasus ini sampai tuntas. "Logikanya, Gayus saja dapat miliaran rupiah. Bagaimana dengan pejabat tinggi lainnya. Harus ditelusuri asal usul duitnya itu," ujarnya. Khusus untuk perkara Bambang Heru, Didi meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor memberikan vonis maksimal terhadap bekas Direktur Keberatan dan Banding Ditjen Pajak itu. Menurutnya, pemberian vonis maksimal akan memberikan rasa takut bagi para mafia pajak yang hingga kini belum tersentuh hukum. "Untuk pembelajaran juga pada nantinya," kata politisi Demokrat ini. Ketua DPP Partai Demokrat ini mengatakan, pajak merupakan sektor yang amat penting bagi suatu negara. Sehingga, lanjut dia, jika penanganan pajak banyak yang menyimpang, maka masyarakat Indonesia akan malas membayar pajak. Untuk itu, ia menambahkan, ada tiga sistem yang harus disertakan untuk reformasi dalam tubuh Ditjen Pajak, yaitu sistem kebijakan, sistem hukum perpajakan, dan sistem administrasi perpajakan. "Saat ini saja, sudah berapa wajib pajak yang belum mau membayar pajak lantaran uangnya itu takut disalahgunakan?" tandasnya. [rm] |
You are subscribed to email updates from di tambunan - Google Blog Search To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
0 ulasan:
Catat Ulasan